Opini

“Menolak Asas Domini Litis: Melawan Monopoli Kewenangan Jaksa untuk Keadilan yang Transparan dan Akuntabel”

OPINI|KabarRI.com, – Asas domini litis, yang memberikan kewenangan mutlak kepada jaksa sebagai pengendali perkara, adalah bentuk ketimpangan yang berbahaya dalam sistem peradilan pidana. Asas ini bukan hanya membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga mempersempit ruang kontrol dan akuntabilitas, yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam negara hukum.

Saya menolak dengan tegas penerapan asas domini litis dan segala upaya legislasi, termasuk dalam RUU KUHAP, yang semakin mengukuhkan kewenangan tanpa batas bagi jaksa. Sebab, ketika satu institusi memiliki kendali penuh atas hidup dan nasib seseorang dalam proses hukum tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, maka keadilan hanya menjadi ilusi.

Pengalaman telah membuktikan, kewenangan besar yang tak terkontrol adalah pintu masuk bagi praktik transaksional, kriminalisasi selektif, serta keberpihakan hukum pada kepentingan tertentu. Sistem peradilan yang sehat harus menjamin distribusi kewenangan yang seimbang, bukan menyerahkannya kepada satu pihak saja.

Sebagai penggiat Sosial dan aktivis yang berkomitmen terhadap prinsip keadilan, transparansi, dan supremasi hukum, saya menolak penerapan asas domini litis dalam sistem peradilan pidana.

Dimana Asas ini, memberikan kewenangan penuh kepada jaksa dalam menentukan kelanjutan suatu perkara, yang pada akhirnya akan berpotensi besar menciptakan ketimpangan kekuasaan, membuka ruang bagi intervensi politik, dan menghambat akses terhadap keadilan substantif bagi korban dan masyarakat.

Dalam praktiknya, domini litis sering kali menjadi alat monopoli kewenangan jaksa dalam mengendalikan perkara, yang tidak jarang berujung pada ketidakadilan akibat pertimbangan di luar aspek hukum dan fakta.

Dalam negara hukum yang demokratis, proses peradilan harus mengutamakan prinsip checks and balances serta akuntabilitas dalam setiap tahapannya, termasuk dalam kewenangan penuntutan. Oleh karena itu, asas ini harus dikaji ulang dan direformasi agar lebih menjamin keadilan bagi semua pihak, terutama korban kejahatan dan masyarakat yang mengharapkan penegakan hukum yang objektif dan transparan.

Reformasi sistem peradilan harus berorientasi pada keseimbangan antara independensi lembaga penuntutan dan kontrol yudisial yang memadai. Tanpa perubahan ini, sistem hukum kita akan terus menghadapi risiko penyalahgunaan wewenang yang merugikan hak-hak warga negara serta melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

Maka, ini bukan sekadar kritik—ini adalah perlawanan terhadap sistem hukum yang bisa membungkam keadilan dengan dalih prosedural. Kita tidak boleh tinggal diam. Kita menuntut reformasi sistem peradilan pidana yang lebih transparan, akuntabel, dan benar-benar berpihak pada prinsip keadilan, bukan pada kepentingan segelintir elit yang ingin menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan!

(Ki Edi Susilo)

(Sekretaris Jendral Himpunan Keluarga Tamansiswa Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *