Medan

Ketua HMI Sumut: Hakim MK yang Semenda Capres-Cawapres Harus Mundur?

Medan|KabarRI.com, – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batasan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mengundang banyak penolakan dari kalangan masyarakat. Putusan tersebut dinilai ‘janggal’ dan inkonsistensi terhadap tiga putusan yang menguji pokok perkara yang sama, yakni Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Terkait Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023, Ketua Bidang Pendidikan dan Riset Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Sumatera Utara (Badko HMI Sumut) Periode 2021-2023 Brimob Ritonga menilai bahwa putusan tersebut begitu ‘kacau’ dan ada dugaan misi tertentu dalam kepentingan politik pemilihan presiden (pilpres) 2024 mendatang.

“Putusan itu sangat kacau. Mau dikaji dari teori pengujian undang-undang mana pun itu kacau. Jelas itu telah mereka tegaskan dalam putusan sebelumnya bahwa pasal yang diuji adalah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), ya seharusnya Putusan 90 itu pun harus bernasib dengan tiga putusan sebelumnya. Kemudian menyerahkannya ke pembentuk undang-undang untuk meninjaunya kembali jika ingin ada perubahan,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Minggu (22/10).

Merujuk kepada Alasan Berbeda (Concurring Opinion) dan Pendapat Berbeda (Disenting Opinion) dalam putusan tersebut, Mahasiswa S2 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (FH UISU) menjelaskan bahwa isi putusannya itu harus menolak, bukan mengabulkan sebagian seperti yang dapat kita dilihat dalam Amar Putusannya.

“Ada dua hakim yang memberikan Consurring Opinion (Alasan Berbeda) yang seharusnya dimaknai dengan penolakan jika kita lihat dari isi Amar Putusan. Dua hakim tersebut sepakat jika itu adalah jabatan kepala daerah tingkat provinsi, artinya jabatan gubernur, bukan setiap jabatan yang dipilih lewat pemilihan umum dan kepala daerah secara umum. Saya melihat dua alasan hakim itu dibajak oleh tiga hakim yang menerima petitum pemohon yang terindikasi ada kepentingan politik yang akomodir,” jelasnya.

Selanjutnya dari Disenting Opinion, menurut Kader HMI yang akrab disapa Ibnu Arsib itu, dapat kita lihat penjelasan betapa terjadinya keanehan dalam putusan tersebut. Beberapa yang paling ‘aneh’ (meminjam perkataan Hakim Konstitusi Saldi Isra) adalah soal Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam rapat hakim dalam tiga perkara yang sama tapi hadir dalam perkara putusan 90 dan 91. Selanjutnya Ketua MK itu baru hadir dalam rapat hakim untuk perkara 90 dan 91. Keanehan lainnya adalah para pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023, sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut. Hal-hal ‘aneh’ ini dia (Ibnu Arsib) menilai adanya ke janggalan ‘membuka pintu’ kepada seseorang yang ingin mencalonkan diri menjadi Capres/Cawapres.

“Kita kecewa dengan MK saat ini. Saya melihat MK sudah tidak independen dan imparsial lagi. Saya melihat sudah tidak memiliki integritas lagi. Semua Hakim di MK perlu untuk dievaluasi kembali. Hakim konstitusi yang ada ikatan semenda atau keluarga dengan Capres/Cawapres harus mundur dari hakim konstitusi demi menjaga kepercayaan publik kepada lembaga pengawal konstitusi itu. MK adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Kekuasaan atau pun Mahkamah Keluarga,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *